Wawancara dengan suster kepala SMK Yos Sudarso, Majenang
SUSTER GABRIELLA SUYATNI OP, lahir 50 tahun lalu di Moyudan,
Yogyakarta. Lulusan SMP Pangudi Luhur itu masuk SPG PGRI dan
menyelesaikan S1 Bimbingan Konseling di Universitas Sanatha Dharma,
Yogyakarta.
Suster yang akrab dipanggil Suster Gaby tinggal bersama dua suster di
Susteran OP Majenang dan menjadi kepala SMK Yos Sudarso Majenang, yang
didirikan tahun 1983 oleh Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS),
pimpinan Pastor Patrick Edward Charlie Burrows OMI (Romo Carolus).
Di SMK Yos Sudarso dengan jurusan busana butik, pemasaran dan
akuntansi yang memiliki misi ‘memanusiakan manusia dengan arah
mengentaskan kemiskinan lewat berbagai macam cara’ itu Suster Gaby
mencintai anak didiknya laksana seorang ibu.
Baru-baru ini Paul C. Pati dari PEN@ Indonesia mewawancarai
Suster Gaby di Purwokerto untuk mendengar ketulusannya menghidupkan 43
anak asuh, yang hanya satu dari mereka beragama Katolik.
PEN@ INDONESIA: Berapa jumlah murid dan apa misi sekolah itu?
SUSTER GABRIELLA SUYATINI OP: Jumlah murid di sekolah saya 241
orang, 93 pria dan 148 wanita. Hanya 16 dari jumlah itu beragama
Katolik, yang lain Muslim. Sekolah Katolik itu menyiapkan fasilitas bagi
orang Muslim, bahkan guru tetap agama bukan guru agama Katolik, tetapi
guru agama Islam. Guru agama Katolik hanya honor.
Salah satu misi SMK itu adalah membantu masyarakat meningkatkan taraf
hidup, bukan dengan memberi materi, tetapi mendirikan sekolah untuk
orang miskin. Pendidikan di sekolah itu di luar standar karena ekonomi
siswa-siswinya mayoritas menengah ke bawah.
Bagaimana guru-gurunya?
Ketika menjadi guru di Yayasan Santo Dominikus Purwokerto, semua
teman guru berkualitas, bersih, rapi dan tidak ada yang terlambat. Di
SMK Yos Sudarso Majenang, guru terlambat itu biasa. Dari pengalaman saya
selama di situ, belum pernah satu hari pun tidak ada guru terlambat.
Memprihatinkan, guru yang terlambat seperti tidak merasa bersalah.
Bagaimana keadaan murid-muridnya?
Sebagaimana sekolah-sekolah di pelosok, beberapa anak SD hingga SMP
dan SMK di Majenang memiliki kebiasaan merokok karena latar belakang
keluarga. Saya tertantang, bagaimana mencintai dengan tulus orang yang
kata orang ‘tidak layak dicintai’. Dalam doa saya katakan, seandainya
mereka adalah saya, Tuhan pasti mencintai saya seperti itu. Mungkin saya
dicintai Tuhan tidak sesuai harapan-Nya. Allah menciptakan saya dengan
harapan seperti itu tetapi kenyataannya menjadi seperti ini. Tetapi,
cinta Allah tidak berkurang. Justru di situ saya rasakan berkat melimpah
terus dalam hidup saya.
Apa realisasi cinta suster kepada mereka?
Saya mencintai mereka tanpa syarat. Kalau ada yang bolos, saya
bersama para guru mencari informasi tentang anak itu. Kebanyakan yang
bolos laki-laki. Saya katakan, kalau begitu bagaimana nanti kamu
bertanggung jawab dengan isteri dan anak-anakmu? Kalau kamu baik,
kemiskinan keluargamu akan teratasi. Kalau seperti ini nanti kamu kerja
ala kadarnya dengan upah ala kadarnya, karena dirimu sendiri ala
kadarnya.
Untuk anak-anak kelas 3 yang les sesudah pulang sekolah, saya sediakan magic com
dan beras dari donatur. Saat istirahat kedua mereka masak, salah satu
anak saya beri 5000 rupiah untuk beli sayur. Saat pulang mereka makan
bersama. Sekarang saya tak lagi memberi uang, karena seorang pemilik
rumah makan tersentuh dan menawarkan sayur gratis. Saya minta anak-anak
ambil sendiri sayur itu.
Saya terharu melihat mereka makan. Di dunia seperti sekarang, mereka
makan bersama bukan dengan piring. Sayur dan nasi dituangkan semua ke
baki. Mereka mengelilinginya dan makan bersama. Saya kagum dengan
kesatuan dan kebersamaan mereka.
Ada pengalaman menarik lain?
Saya pernah mengunjungi keluarga dengan lima anak. Orangtuanya
bekerja sebagai pemetik kangkung dari jam 10 malam sampai 5 pagi.
Gajinya 25 ribu rupiah. Rumahnya tidak ada kamar mandi. Anak remaja
semua mandi di ruangan yang hanya ditutup karung beras. Mereka makan dan
tidur di satu ruangan. Di samping tempat tidur terletak tungku.
Tiga anak keluarga itu kini menjadi anak asuh saya. Sebenarnya kakak
tertua sudah tiga tahun tidak sekolah setelah lulus SMP. Karena
berpikir dia perlu juga mengangkat ekonomi keluarga, saya bertanya, ‘Mas
mau sekolah?” Dia malu dan menolak, karena adik-adiknya sudah jadi anak
asuh saya, merasa sudah tua, dan malu ngak bisa ikuti pelajaran.
Tapi saya katakan, “Tidak ada orang bisa mengalahkan kehendak
sendiri, kalau maunya tidur, disuruh berlari dia akan tetap tidur.
Silahkan tanya pada kehendakmu sendiri, mau berhasil atau tidak, mau
baik atau tidak, mau lulus SMP, SMK atau Perguruan Tinggi.” Dia masih
mikir. “Kalau suster pindah siapa yang biayai saya?” tanya dia. “Itu
soal gampang Mas. Ada bank, bisa transfer. Kalau saya minta izin ke
Majenang untuk mengurus kalian, pasti boleh oleh pemimpin saya,” jawab
saya. Karena masih mikir, saya tinggalkan formulir dengan pesan, “kalau
minat, diisi saja, kalau tidak, ngak apa-apa.”
Ternyata dia mengisi formulir dan kini sekelas dengan adiknya. Dia
lebih pintar dari adiknya. Karena mau lebih pintar matematika, saya
setuju usulannya untuk les. Kebetulan ada guru Katolik yang mau memberi
les dengan harga 50 ribu rupiah sebulan untuk anak asuh saya.
Ketiga anak itu tidak bayar uang apa pun. Bahkan, kalau di susteran
ada beras kita kasih kepada mereka. Saya menangis mendengar bahwa mereka
setiap pagi hanya sarapan dengan sambel, padahal makanan di susteran
sering tidak habis. Kalau ada makanan di susteran kita panggil mereka.
Suster biayai semua ongkos sekolah mereka?
Ketiga anak itu adalah bagian dari 10 anak asuh yang saya biayai
semua, SPP, uang makan dan uang jalan. Saya punya 43 anak asuh. Hanya
satu beragama Katolik. Khusus untuk anak-anak dari pemetik kangkung itu
saya pinjamkan sepeda sumbangan seorang umat Katolik.
Anak-anak didik saya umumnya naik motor dan jalan kaki. Mereka lebih
bangga jalan kaki daripada turun naik sepeda. Nampaknya masih ada
gambaran bahwa naik sepeda itu rendah. Memang saya mengerti karena
mereka masih remaja, masih mencari harga diri.
Kami masih merencanakan pembiayaan berkelanjutan bagi ketiga anak itu untuk meneruskan pendidikan setelah tamat dari SMK.
Apakah anak-anak asuh suka membantu suster juga?
Ya, kalau ada waktu kosong, dengan suka rela mereka datang ke rumahku
untuk nyapu, ngepel, cabut rumput atau bersihkan kebun. Kalau mereka
datang tentu saya beri makanan, tapi masak sendiri. Yang lain kerja,
yang lain masak.
Mereka terlibat kegiatan sosial. Misalnya, mereka jalan dari SMK
menuju gereja. Dalam perjalanan mereka memungut sampah dan memasukkan
dalam tas kresek yang mereka bawa. Kami hanya minta melakukan yang baik.
Namun lewat analisa, kami menemukan masalah sosial yang besar adalah
sampah. Mereka menyadari kalau mau hidup sehat harus buang sampah ke
tempatnya.
Apakah anak-anak itu tahu bahwa suster beragama lain?
Mereka tahu. Bahkan mereka bertanya mengapa saya, orang Katolik, mau
bantu orang Muslim. Saya jawab, ‘Kami bukan membantu agamanya tapi
membantu orangnya.’ Kami harus membantu siapa saja yang membutuhkan
bantuan, apapun agamanya.
Lalu saya
katakan, ‘Kalau saya kafir, nanti kamu menjadi pintar karena orang
kafir, karena saya mengajar kamu.’ Hanya sekali itu saya mendengar anak
mengatakan saya kafir.
Kalau teman suster mampir, mereka katakan “kami mau lihat suster
lain, bukan suster saja.” Saya ajak mereka ke rumah dan katakan,
“Susternya pingin bakso.” Langsung mereka belikan bakso, siapkan mangkok
dan mencucinya selesai digunakan. Bahkan kalau ada doa lingkungan,
mereka siapkan tikar.
Apakah di Majenang ada paroki?
Ada. Paroki Santa Theresia Majenang diresmikan tanggal 1 Oktober
2010. Kalau saya datang membersihkan gereja, anak-anak mengajak
teman-teman lain untuk membantu menyapu dan mengepel. Kalau Gereja
mengadakan aksi sosial, mereka yang membungkus sembako serta
membagikannya. Saat ada Hari Raya Gereja pun mereka ikut terlibat,
misalnya hari Minggu Palma mereka membawa palma.
Tentu semua itu tidak bertujuan mengkatolikkan mereka. Bagaimana mereka tahu itu?
Saya katakan sejak awal bahwa, “Saya bantu kamu, tapi kamu tidak
boleh Katolik. Begitu kamu Katolik, saya dikira mengkatolikkan dan cinta
kasih kami terhambat. Maka silahkan sholat lebih rajin, dan jangan
menjadi Katolik.” Buktinya, yang tertua dari kakak-beradik yang saya
sebut tadi tetap guru ngaji untuk anak SD. Setiap azan, dia yang pimpin
sholat, dia imamnya.
Dengan menjadi murid dan bekerja dengan saya mereka lebih rajin
sholat. Kalau tidak sholat, saya tegur dengan mengatakan bahwa
kehidupanmu tidak kuat tapi rapuh. “Kalau kamu tidak terbiasa dengan
udara Allah, nanti Allah memberi surga kamu tidak kerasan. Tuhan kasih
surga, tapi karena tidak biasa ber-AC, kamu jauh-jauh dari AC, padahal
itu AC dari Tuhan. Kamu harus biasakan diri dengan udara Allah. Udara
Allah adalah kebaikan. Tidak ada lain!”
Mereka tidak merasa berdosa masuk gereja atau kerja dengan suster?
Tidak. Sebelumnya saya tanya, “Kalau kamu masuk gereja berdosa
nggak?” Mereka jawab tidak. “Di agamamu diajarkan ngak?” Mereka jawab,
“Ngak!” Maka, ketika ke Yogyakarta untuk Pesta 25 Tahun Imamat seorang
imam, dua anak asuh ikut. Demikian juga ketika menghadiri Misa
Pernikahan, mereka duduk di depan menyaksikan upacara pernikahan.
Mereka bertanya tentang artinya salib. Saya jelaskan bahwa untuk
menjadi sempurna seseorang bukan saja harus dekat dengan Allah tapi juga
dengan sesama. Kalau manusia punya hubungan baik dengan Allah tetapi
tidak baik dengan sesama, dia tidak dapat kesempurnaan di dalam Allah.
Mereka mulai terbuka. Tapi ada yang bertanya, “Suster di tempat
suster ada yang najis, ngak?” Saya bilang ada, tapi najis bukan yang
masuk tapi yang keluar. “Kalau saya marah tanpa alasan, itu bisa najis.”
Saya menjelaskan tentang perbedaan roh jahat dan roh baik dengan
mengatakan bahwa roh jahat adalah kemalasan, mabuk-mabukan, merokok.
Apa refleksi suster tentang kerja sama dengan anak-anak asuh itu?
Saya tumbuh mekar di tengah orang Muslim. Di SMK Yos Sudarso
Majenang, anak-anak boleh masak dan makan, bahkan tidur di situ. Yang
tinggal jauh boleh tidur di sekolah bersama penjaga malam.
Justru di tengah orang Muslim, saya bisa menghadirkan cinta kasih
tulus, sungguh-sungguh, dan tanpa benteng. Saya bangga. Memang, kalau
berkunjung ke pegunungan, saya mencari murid, dan melihat masih banyak
orang tidak punya wc sehingga buang air besar di kebun. Kesehatan pasti
kurang.
Benar, 10 persen murid saya adalah dari keluarga miskin yang saya
‘tarik’ dari pegunungan dan pedesaan untuk bersekolah tanpa bayar.
Kepada mereka kami sediakan rumah singgah tanpa bayar, tapi mereka masak
sendiri dengan beras yang diberikan umat Katolik.
Bagaimana tanggapan tokoh Muslim di sana?
Pertama mereka menganggap SMK Yos Sudarso itu sekolah Katolik dan
agamanya pasti Katolik. Tapi kini, mereka mulai terbuka, karena tahu
tidaklah demikian. Buktinya, sebelum ujian sekolah, kami panggil kiai
untuk berdoa. Saya wajibkan semua anak perempuan Muslim memakai jilbab.
Dalam rapat kepala sekolah, ada kepala sekolah yang mengajak saya
datang ke sekolahnya. Katanya, belum ada orang seperti suster datang ke
sekolahnya. “Ya sudah. Nanti saya datang bersama anak-anak saya.”
Ketika mengajar pengalaman bahagia dan sedih, seorang anak mengatakan
pengalaman bahagianya adalah saat pertama kali bertemu dan melihat
suster. Itu pun terjadi di masyarakat. Kalau saya memasuki gang untuk
pulang ke rumah, anak-anak kecil keluar dan memanggil, suster … dalem (semoga Tuhan memberkati) … suster.***
http://penakatolik.com/2013/06/22/suster-gaby-op-pimpin-sekolah-katolik-dengan-255-siswa-muslim-dan-16-katolik/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar